Pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI 2025 semakin memanas di kalangan masyarakat Indonesia dimana telah diketuk palu sebagai bukti regulasi ini telah disahkan tepat pada Kamis, 20 Maret 2025. Revisi UU ini hadir bertujuan untuk merevisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). UU ini juga menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, terutama terkait dengan proses legislasi yang dianggap tidak transparan dan berpotensi melanggar prinsip-prinsip demokrasi dimana ada aspek dominansi militer didalamnya.
Menilik pada proses pembahasan RUU TNI 2025 dilakukan secara tertutup di Hotel Fairmont Jakarta, yang dianggap mencerminkan praktik “abusive law making” atau penyusunan undang-undang yang menyimpang dari prinsip demokratis. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran, Prof. Susi Harijanti, menegaskan bahwa pembahasan ini harus ditolak karena tidak mencerminkan kebutuhan rakyat dan hanya mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu
Salah satu poin kontroversial dalam RUU ini yaitu berkenaan dengan perluasan peran TNI dalam lembaga sipil. Sebelumnya, prajurit TNI hanya diperbolehkan menduduki posisi di 10 kementerian dan lembaga, namun dengan revisi ini jumlahnya meningkat menjadi 16. Hal ini tercantum dalam pasal 7 mengenai kedudukan TNI yaitu terhadap Operasi Militer Selain Perang (OMSP), bahwa menyatakan tugas pokok TNI dari 14 jadi 16. Selain itu, 2 tugas yang ditambahkan mengenai pertahanan siber dan melindungi serta menyelamatkan warga negara dan kepentingan nasional di luar negeri. Hal ini memicu kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi ABRI, di mana militer kembali terlibat dalam urusan pemerintahan sipil.
Selain itu, terdapat perubahan signifikan pada batas usia pensiun prajurit TNI. Usulan pemerintah untuk memperpanjang masa dinas prajurit hingga usia 65 tahun bagi jabatan tertentu dianggap dapat menghambat regenerasi dan menciptakan ketidakadilan dalam kesempatan karir bagi generasi muda. Kritik juga datang dari berbagai organisasi masyarakat sipil yang menilai bahwa RUU ini berpotensi memperluas kewenangan TNI tanpa pengawasan yang memadai. Ketua PBHI Nasional, Julius Ibrani, menegaskan bahwa pentingnya menjaga keseimbangan kekuasaan agar tidak terjadi dominasi militer dalam pemerintahan.
Dari sudut pandang hukum, banyak pakar menyatakan bahwa proses legislasi RUU TNI tidak mengikuti prosedur yang benar. Surat Presiden (Surpres) yang menjadi dasar pembahasan dianggap tidak memenuhi syarat sebagai permohonan awal, sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai legitimasi proses tersebut. Dalam konteks ini, dampak dari pengesahan RUU TNI 2025 bisa sangat besar. Meningkatnya keterlibatan militer dalam pemerintahan dapat mengurangi ruang bagi sipil untuk berpartisipasi dalam jabatan strategis, serta meningkatkan risiko penyalahgunaan kewenangan tanpa mekanisme pengawasan yang jelas.
Meskipun Komisi I DPR RI mengklaim bahwa supremasi sipil akan tetap dijunjung tinggi, banyak pihak skeptis terhadap pernyataan tersebut. Penempatan prajurit aktif di berbagai lembaga sipil dapat mengaburkan batas antara fungsi militer dan sipil, yang pada gilirannya bisa mengancam prinsip-prinsip demokrasi. Seiring dengan berlanjutnya pembahasan UU TNI 2025 yang telah disahkan, masyarakat diharapkan tetap kritis dan aktif menyuarakan pendapat mereka. Penting bagi semua pihak untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil tidak hanya berpihak pada kepentingan segelintir orang, tetapi juga mencerminkan aspirasi dan kebutuhan rakyat secara keseluruhan.Dengan latar belakang tersebut, jelas bahwa Revisi UU TNI 2025 ini bukan hanya sekadar revisi undang-undang biasa, ia merupakan refleksi dari dinamika politik dan tantangan demokrasi yang dihadapi Indonesia saat ini.